Pengertian politik astrologi nasional
Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan
wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati
untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke
dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama
kali pada Pemilu 2004.
Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai
bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih
sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil
presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Tahun 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu
itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilu tahun 1955 ini
dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah
dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota
angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun
berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260,
sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR)
ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada
saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut
berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta
sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih
30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi
secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah
perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak
menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan
untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok
pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan
memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan
untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan
Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa
dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu
tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun pada
1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan
Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden
untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang
diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali
otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof
Ismail Sunny– sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika
pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah
sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.
Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959
membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua
anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan,
memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat
klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi,
konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di
bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang
Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya
krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal
semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi
Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu.
Malah pada 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno,
orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu
bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan
lewat pemilihan berkala.
Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden
menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak
secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan
transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar
Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada
SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa
Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR
bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga
tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap
berbau Orde Lama.
Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa diselenggarakan 5 Juli 1971,
yang berarti setelah empat tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan.
Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih
sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR
menyelesaikan UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU Nomor 16
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu
sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah
bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral.
Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang
berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak
kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar
seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang
digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu
1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi
terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang
meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi,
kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai
terbuang percuma.
Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga
tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi
di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus
acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut.
Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan.
Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka
jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi
dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang
tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih
sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan
stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila
tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian
pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa
suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan
tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan
keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias
perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional
suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih
sedikit dibandingkan Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 (ORDE BARU)
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai
terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu
1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5
tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu
hal yang nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa
sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu
Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan
DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai
Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI)
dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan
PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi
pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak
langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah
kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan
militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara
berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi
masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem
proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang
sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu
Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan
kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan
Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan
di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP
berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau
bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu
1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini
seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi
kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan
suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara
nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari
Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi
di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara
nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi
atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan
Partai Katolik.
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4
Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional
Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta
dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara
nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti
kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih
48.334.724 suara atau 242 kursi.
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan 23 April 1987 secara
serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah
mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak
berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni
hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61
kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi
partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka’bah kepada
Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama
Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi
299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan
kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil
Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil
menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu
1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak
berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977,
1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei
1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami
kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya.
Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan
perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi
dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu
pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi
atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap
partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara
PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu,
perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi,
yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal
21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat
segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.
Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie.
Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia
internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini
kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk
memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya
bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya,
tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang
seharusnya berlangsung sampai 2003, suatu kebijakan dari seorang
presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Ketiga draf UU ini disiapkan sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7,
yang diketuai oleh Prof Dr M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri,
Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari
partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan
pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti
banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini
sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan
terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan
setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan
sebelumnya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak dia naik ke
kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis
politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan
penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan
suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7
Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak
pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai,
tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di
Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur
suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya
perlengkapan pemungutan suara.
Sumber : http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-pemilu-pemilihan-umum-indonesia-untukku.html